Free Porno Video Sex

Custom Search

Padang Lawas meliputi sektor perkebunan, pertanian, perikanan, peternakan, kehutanan dan pertambangan

Sebagaimana diketahui bahwa Kabupaten Padang Lawas (Palas) yang dikenal dengan pusat pemerintahannya di Sibuhuan sebagai daerah yang memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar. Memang hal itu tidak bisa dibantah, karena klaim tersebut sangat didukung fakta dan kenyataan bahwa Kecamatan Sosopan, Kecamatan Ulu Barumun, Kecamatan Barumun, Lubuk Barumun, Kecamatan Sosa, Batang Lubu Sutam, Hutaraja Tinggi, Barumun Tengah dan Kecamatan Huristak sebagai wilayah cakupan Palas merupakan bumi yang menyimpan potensi pertanian dan perkebunan.

Daerah Otonom Baru (DOB) hasil pemekaran Kabupaten Tapanuli Selatan yang terwujud tahun 2007 lalu ini mencapai luas 3.892,74 km bujursangkar. Berpenduduk menurut data tahun 2006 mencapai 233.933 jiwa menghuni 305 desa ditambah satu kelurahan ini sejak dulu dikenal memiliki potensi alam yang memberi peluang terbebasnya kawasan yang biasa disebut Barumun Raya tersebut dari kantong-kantong kemiskinan sebagaimana dimiliki hampir sejumlah daerah kabupaten/kota di Sumut.

Potensi Padang Lawas
Potensi alam yang dimiliki Palas dimaksud meliputi sektor perkebunan, pertanian, perikanan, peternakan, kehutanan dan pertambangan. Potensi perkebunan dan pertanian, terlihat seperti di Kecamatan Sosa, di Hutaraja Tinggi, di Kecamatan Batang Lubu Sutam, Kecamatan Sosopan, Kecamatan Barumun Tengah dan Kecamatan Huristak. Bahkan beberapa kecamatan tersebut saat ini telah menjadikan sektor perkebunan jenis kelapa sawit menjadi potensi andalan yang telah banyak merubah taraf hidup warga ke arah yang semakin membaik.

Masih dari sektor perkebunan dan pertanian di Palas, Kecamatan Sosopan malah memiliki produk andalan mulai dari Kulit Manis dengan produksi 15 ton lebih setiap minggu, produk andalan kedua Sosopan setelah kulit manis adalah karet dengan produksi 50 ton getah setiap bulan, kemudian nilam dengan produksi 25 kilogram setiap bulan dan gabah yang mencapai produksi enam ton lebih setiap musim panen (6 bulan) dari luas areal persawahan 250 hektare.

Selain itu Palas juga memiliki potensi alam yang kaya di sektor pertambangan seperti Batu Bara di Kecamatan Sosopan dan Sosa, timah hitam di Kecamatan Batang Lubu Sutam, Ulu Barumun, Kecamatan Sosa dan Sosopan. Kemudian minyak bumi di Kecamatan Barumun Tengah (Lapangan Tonga I dan Lapangan Tonga II). Itu ditambah lagi dengan bahan galian non logam seperti kapur, marmer, granit dan batu gamping di Kecamatan Sosopan serta Pasir Kuarsa di Kecamatan Huristak dan Barumun Tengah.

Berkat potensi yang dimiliki Kabupaten Padang Lawas tersebut, seperti diungkapkan sebelumnya, kehidupan warga di daerah ini sejak beberapa tahun terakhir mulai nampak semakin sejahtera. Kondisi menggembirakan ini terlihat terutama di Kecamatan Sosa, Sosa Jae, Kecamatan Barumun dan Barumun Tengah. Fakta tersebut membuat daerah ini sejak beberapa tahun terakhir dijuluki sebagai daerah dollar.

Untuk itu, tidak heran jika ditemukan banyak putra-putri dari Padang Lawas khususnya dari beberapa kecamatan tersebut di atas telah mengenyam pendidikan sampai ke jenjang pendidikan tinggi, bahkan ada beberapa di antara mereka yang sudah ke program S-2 dari berbagai disiplin ilmunya.

Tidak pantas
Namun demikian, satu hal yang tidak bisa dibantah adalah bahwa di balik peta potensi sumber daya alam yang dimiliki Kabupaten Padang Lawas yang begitu besar dan kaya, masih terlihat sejumlah pemukiman warga yang menjadi indikator bahwa penghuninya masih hidup di bawah garis kemiskinan. Artinya daerah yang begitu potensial dan kaya, rasanya tidak pantas masih memiliki warga miskin.
Mereka para warga yang berstatus pra sejahtera tersebut tidak saja ditemukan di pelosok pedesaan terpencil seperti di Kecamatan Batang Lubu Sutam, Kecamatan Hutaraja tinggi, daerah terpencil Kecamatan Sosopan (kawasan Siborna Bunut), Kecamatan Huristak dan Kecamatan Sosopan, tetapi juga banyak ditemukan tidak jauh dari Sibuhuan, ibukota Kabupaten Palas. Warga miskin tersebut ada di Kecamatan Lubuk Barumun, tepatnya sekitar Pasar Latong, bahkan ada di Kecamatan Barumun sendiri seperti wilayah Hasahatan Jae dan di Kecamatan Ulu Barumun.

Warga miskin yang berdomisili tidak jauh dari Pasar Latong misalnya, meskipun Tanah Air tercinta ini sudah 64 tahun merdeka, tetapi kondisi kehidupan mereka masih seperti kehidupan manusia Indonesia pra kemerdekaan 1945 silam. Misalnya, masih ada warga setempat yang hingga saat ini belum menikmati penerangan listrik. Bahkan ada sejumlah rumah kediaman warga di desa ini yang dindingnya terbuat dari bambu lapuk dengan model rumah berkolong berukuran seadanya.

Warga dari sejumlah desa di atas hingga saat ini masih hidup dari penghasilan sebagai buruh harian lepas (BHL) di perusahaan-perusahaan perkebunan yang beroperasi di Nagargar, Kecamatan Lubuk Barumun dengan naik truk setiap waktu shubuh. Bahkan mungkin ada yang lebih jauh lagi seperti ke perkebunan di Kecamatan Sosa dan sekitarnya.

Kita juga prihatin dengan kondisi kehidupan warga sejumlah desa di Kecamatan Batang Lubu Sutam yang juga hingga saat ini masih ada yang belum tersentuh pembangunan infrastruktur jalan. Pada usia 59 Indonesia Merdeka, tepatnya tahun 2004 yang lalu, daerah tersebut resmi menjadi kecamatan dengan ibukota Pinarik hasil pemekaran Kecamatan Sosa. Waktu itu warga banyak berharap pemekaran kecamatan akan mengubah nasib mereka. Pemerintah akan mengikutkan daerah mereka dalam peta perhatian untuk dibangun agar mereka terlepas dari keterisoliran.

Namun hingga di usia RI 64 tahun saat ini dan Kecamatan Batang Lubu Sutam telah berusia lima tahun klop, kecamatan itu belum juga ikut “merdeka” dari keterisoliran yang diderita warganya. Padahal potensi perkebunan kelapa sawit yang menjadi andalan Padang Lawas juga banyak diproduksi dari Kecamatan terisolir ini. Putra-putri bangsa yang berpendidikan juga banyak berasal dari Kecamatan Batang Lubu Sutam, bahkan tidak sedikit yang sudah ikut dan pernah menjadi pengambil kebijakan di lingkungan pemerintah.

Kondisi kehidupan masyarakat yang begitu menyayat hati, ternyata belum membuat pemerintah berpikir keras untuk melepaskan mereka yang hidup memprihatinkan itu dari kehidupan yang mereka derita yang sampai-sampai mereka merasakan belum adanya bukti dari karya nyata para pengambil keputusan di daerah ini. Mereka bahkan merasakan belum ikut “merdeka” walau negeri ini sudah 64 tahun merdeka. Padahal daerah ini memiliki potensi sumber daya alam yang begitu besar dan kaya, sehingga logika sehat mengatakan tidak pantas daerah ini memiliki warga miskin dan kawasan terisolir.

Tidak ada kata lain, daerah ini harus secepatnya lepas dari kemiskinan dan kawasan terisolir. Untuk itu, Bupati Basyarah Lubis dan Wakil Bupati H. Tongku Ali Sutan Harahap (TSO) harus mencari solusi guna merubah daerah ini. Karya nyata KDH dan Wakil KDH Padang Lawas sudah ditunggu masyarakat. Hendaknya daerah ini terlepas dari peta kemiskinan dan kawasan terisolir pada tahun 2012 nanti. Resepnya adalah karya nyata dan ide segar sang Bupati dan Wakil Bupati, karena tidak ada alasan daerah ini tidak mampu untuk lepas dari dua keprihatinan di atas, jika dilihat dari potensi daerah yang dimiliki Padang Lawas. Semoga terwujud. Amien. Kutipan dari: http://www.waspada.co.id

Kuasa Hukum PT Hasilindo Sawita Ciptama Tris Widodo SH, Sikap PT MAI Memortal Jalan Umum Sungai Korang Padang Lawas Harus Diakhiri

Sikap managemen perusahaan perkebunan PT Mazuma Agro Indonesia (MAI) di Desa Sungai Korang, Kecamatan Huta Raja Tinggi, Kabupaten Padang Lawas (Palas) sudah terlalu berlebihan dan harus diakhiri. Pemortalan jalan umum oleh perusahaan tersebut berakibat kesengsaraan bagi masyarakat khususnya pemilik kebun sawit di dalam lokasi jalan masuk perkebunan itu.

“Sikap perusahaan itu harus dihentikan dengan cara membuka portal tersebut. Jika tidak, maka kesengsaraan warga yang punya kebun sawit akan meluas sebab tidak dapat mengangkut buah sawitnya untuk dijual ke pabrik,” ujar Tris Widodo SH kuasa hukum/ pengacara PT Hasilindo Sawita Ciptama (HSC) kepada wartawan di Padangsidimpuan, Sabtu (29/8) seputar pemortalan jalan umum tersebut. PT HSC juga dilarang melintasi jalan itu dengan alasan yang tidak masuk akal, ujarnya.

Lebih lanjut dikatakannya, tidak ada alasan bagi PT MAI yang bergerak di perkebunan kelapa sawit untuk melakukan pemortalan jalan umum, karena telah melanggar Peraturan Daerah dan UU tentang jalan, sehingga PT MAI sudah selayaknya dipidanakan, ujar Tris Widodo SH.

Tris Widodo mengharapkan agar Pemkab Palas segera bertindak membongkar portal jalan dan selanjutnya mempidana-kan pihak perusahaan PT MAI yang melakukan pemortalan jalan umum.

Harusnya Pemkab bersikap tegas dan tidak usah ragu karena demi kepentingan masyarakat pemakai jalan di sana. Walupun itu portal dijaga oleh puluhan aparat security dari PT MAI dan dibantu aparat dari kesatuan tertentu, Pemerintah tidak boleh lemah. Karena jika dibiarkan akan dapat menimbulkan dampak kekhawatiran bakal terjadinya konflik horizontal di wilayah tersebut.
Semua orang tahu kalau jalan umum tersebut merupakan satu-satunya jalan untuk keluar dari lokasi kebun menuju jalan Negara Sibuhuan-Pakan Baru dan dibuktikan dengan dibangunnya jembatan sungai Batang Kumu oleh Pemkab Tapsel (sebelum pemekaran-red) yang dananya bersumber dari APBD. Anehnya, kok sekarang malah diklaim oleh PT MAI bahwa jalan tersebut jalan milik PT MAI dan memortalnya sesuka hatinya saja dengan alasan harus ada kumpulan dana untuk merawatnya, sementara truk milik PT MAI paling banyak memanfaatkan fasilitas jalan tersebut. “Itukan sama dengan pungli yang dilakukan PT MAI,” ujar Tris Widodo.

Pemkab Palas harus segera melakukan tindakan tegas terhadap sikap PT MAI agar Pemda lebih berwibawa di mata masyarakat maupun pemilik kebun yang ada di lokasi tersebut, apalagi persoalan pemortalan jalan tersebut sudah dibawa pada musyawarah Muspida pada tanggal 18 Agustus lalu. Segera lakukan tindakan tegas terhadap PT MAI untuk membuka portal jalan sebab jalan tersebut sudah milik umum dan pembangunan jembatan yang ada di lokasi tersebut bersumber dari uang rakyat, tegasnya.

Seperti telah diberitakan, PT MAI melakukan pemortalan jalan umum di Sungan Korang sehingga masyarakat tidak dapat melintasi jalan untuk mengangkut buah sawit, termasuk PT HSC dan R Hutapea. Masalah tersebut telah dibawa ke ajang musyawarah antara Muspida Palas dengan pihak PT MAI pada tanggal 18 Agustus 2009 lalu agar portal jalan segera dibuka, namun sama sekali tidak ditanggapi oleh pihak PT MAI dan portal masih berdiri di sana yang dikawal sekuriti perusahaan itu. (T7/m) Kutipan dari: http://padanglawas.web.id

Padang Lawas Diprediksi KLB Campak & Polio : Dinkes Lakukan Imunisasi 6-24 Oktober

Berdasarkan survei serta rekomondasi Dinas Kesehatan Sumut dan Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, tahun 2009 ini Kabupaten Padang Lawas dikhawatirkan berstatus Kejadian Luar Biasa atau KLB penyakit campak dan folio. Campak dan polio diprediksi akan mewabah di kalangan anak-anak dan balita karena lemahnya faktor kesehatan lingkungan dan kebersihan lingkungan.

Mendapati hasil survei itu, Dinas Kesehatan dan Sosial (Diskesos) Padang Lawas langsung mengelar sosialisasi imunisasi tambahan campak dan polio, Selasa (1/9) di Aula Gedung Akbid Baruna Husada Sibuhuan, Jalan KH Dewantara Sibuhuan Kecamatan Barumun. Sosialisasi ini diikuti 50 peserta yang terdiri dari kepala puskesmas dari 9 kecamatan, juru imuninasasi dari Puskesmas dan tokoh agama, masyarakat, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Plt Kadis Dinas Kesehatan dan Sosial Palas, dr H Taslim Hasan yang membuka acara kegiatan sosialisasi imunisasi campak dan polio mengatakan, setelah sosialisasi ini digelar, seluruh lapisan masyarakat diharapkan bekerjasama mensosialisaikan kepada kalangan ibu rumah tangga, khususnya yang memiliki balita dan anak- anak.

Untuk itu, kata dr Taslim, ibu-ibu diharapkan membawa anak-anak dan bayinya ke pos-pos Pekan Imunasisasi Nasional (PIN) terdekat yang telah dipersiapkan mulai tingkat desa dan kecamatan, untuk mendapatkan imunisasi campak dan polio yang akan digelar mulai 6-24 Oktober mendatang.

Terpisah, Kepala Bidang Pencegahan Penyuluhan Penyakit (P2 P) Diskesos Palas, Gojali Amk SE, mengimbau seluruh peserta sosialisasi yang hadir untuk menginformasikan pelaksanaan imunisasi campak dan polio kepada masyarakat.

"Khususnya kalangan ibu rumah tangga yang memiliki balita yang umurnya 5 tahun ke bawah agar datang ke pos-pos PIN imunisasi campak dan polio yang telah tersedia di desa maupun di kecamatan. Ini untuk mengantisipasi penyebaran penyakit campak dan polio yang dikhawatirkan akan mewabah jika tidak langsung dicegah," katanya.

Gojali menambahkan, imunisasi tambahan campak dan polio merupakan tambahan dari imunisasi rutin yang selama ini dilaksanakan. "Karena sesuai hasil survei dan rekomondasi Dinkes Sumut, tahun 2009 ini, Palas bakal mengalami KLB campak dan polio," sebut Gojali. Kutipan dari: http://padanglawas.web.id

Bupati Padang Lawas Basyrah Lubis : Demi Kepentingan Umum Kita Akan Bongkar Paksa Portal Itu

Bupati Padang Lawas (Palas) Basyrah Lubis mengatakan , pihaknya akan bersikap tegas, membongkar paksa portal yang dibuat oleh PT Mazuma Agro Indonesia (MAI) karena sudah merugikan masyarakat, terutama pengusaha perkebunan kelapa sawit yang ada di kawasan itu. “Dengan alasan apapun, perusahaan tersebut tidak bisa seenaknya memortal jalan, apalagi jalan umum,” ujar bupati kepada wartawan SIB melalui telepon selulernya, Senin (31/8).

Lebih lanjut dikatakannya, ketidakhadiran pihak PT MAI ketika rapat Muspida plus dilaksanakan, tanggal 18 Agustus 2009 menimbulkan tanda tanya mengenai itikad baik perusahaan perkebunan kelapa sawit itu.

Kita buat surat undangan guna membahas pembukaan portal, tapi mereka tidak hadir dengan alasan ada kegiatan yang bersamaan waktunya. Alasan itu bisa saja mereka buat seperti itu, tapi kita tetap teguh pada pendirian, portal harus dibuka.

Mempertegas hasil musyawarah Muspida plus tersebut pihak Pemkab Palas sudah menyurati PT MAI agar membuka portal. Jika tidak dibuka, maka akan dibongkar paksa demi kepentingan masyarakat banyak. Menurut Bupati Basyrah, bahwa hingga saat ini surat Pemkab itu belum ada tanggapan dari pihak PT MAI. Jika perusahaan itu tidak menggubris surat kita maka akan kita lakukan tindakan tegas.

“Kita sangat mendukung investor masuk ke daerah ini untuk memajukan perekonomian masyarakat Padang Lawas. Tetapi, kalau pengusahanya arogan seperti memortal jalan umum maka kita harus buat perhitungan,” ujar bupati. Mengenai surat Pemkab ke PT MAI, bupati mengatakan bahwa Sekdakab yang tahu persis.

Sementara Sekdakab Palas Syahrul Mulia Harahap dikonfirmasi SIB mengatakan bahwa pihaknya sudah menyurati secara resmi pihak PT MAI agar membuka portal tersebut. “Kita sudah surati perusahaan itu dan sudah beritahu kalau Muspida sudah rapat soal portal jalan, namun hingga saat ini belum ada tanggapan,” ujarnya.

Begitupun pihak Pemkab juga mengirim surat kepada PT MAI dan kepada perusahaan terkait agar duduk bersama menyelesaikan kasus pemortalan itu. Rabu (2/9) ini merupakan penentuannya, apakah portal dibuka atau tidak. “Jika dibuka yah terima kasih , tapi kalau tidak dibuka maka kita bersama Muspida akan buat tindakan membuka secara paksa karena sudah merugikan masyarakat,”ujar Sekda. (T7/p). Kutipan dari: http://padanglawas.web.id

Mahasiswa siap kawal eksekusi register 40

Mahasiswa siap mengawal dan mengawasi setiap proses pelaksanaan eksekusi lahan perkebunan kelapa sawit seluas 47 ribu hektar dalam kawasan register 40, di kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara demi terwujudnya kepentingan masyarakat kecil.

Menurut ketua umum pengurus pusat Gerakan Mahasiswa Padang Lawas, Ansor Harahap, siang ini, mengatakan setelah bertahun-tahun, eksekusi terhadap register 40 akhirnya ditetapkan meski ada penolakan yang mengatasnamakan pemuda dan masyarakat.

Sesuai putusan MA No.2642/K/PID/2006 dalam eksekusi tersebut, akan dilakukan tahapan eksekusi dilapangan, seperti pengambilalihan manajemen secara langsung oleh negara pada perusahaan yang terdapat dalam wilayah eksekusi termasuk PT.Torganda dan koperasi Bukit Harapan.

"Dalam pada ini kami para mahasiswa yang turut aktif mendorong dan memantau pelaksanaan eksekusi ini juga menyatakan akan terus dan siap mengawal setiap proses serta tahapan lanjutan eksekusi tersebut," katanya.

Hal itu bukanlah akhir dari perjuangan mahasiswa dan pemuda terhadap masalah register 40 tersebut, tetapi baru salah satu titik keberhasilan yang membutuhkan pengawalan yang lebih ketat dan terarah lagi.

"Kita tidak ingin pemerintah jadi kapitalis kedua setelah perusahaan yang selama ini mengeksploitasi kekayaan alam negara, kita pro aktif mendiskusikan masalah ini," tegasnya.

Mahasiswa Padang Lawas juga minta seluruh pihak, untuk tidak melakukan skenario dan konspirasi dibalik layar untuk mempengaruhi kemurnian proses hukum dan keberpihakan dalam pelaksanaan eksekusi tersebut.

"Semua pihak harus membantu, baik dalam pengambilalihan manajemen atau aset register, perusahaan juga diminta untuk mempermudah negara dalam melakukan tahapan eksekusi dilapangan," ucapnya.

Mereka juga menuntut penanganan yang lebih transparan serta akuntabilitas publik harus dikedepankan dalam tahapan lanjutan eksekusi itu, agar tidak menimbulkan praduga yang negatif terhadap pemerintah serta menghindari adanya oknum-oknum mengambil keuntungan. katanya. Kutipan dari: http://padanglawas.web.id

Jualan di Lapangan Merdeka Sibuhuan Pedagang Musiman Dikutip Rp1 Juta

Selama bulan Ramadan, Lapangan Merdeka Sibuhuan, Padang Lawas, menjadi lokasi berjualan bagi para pedagang musiman untuk mengais rezeki. Berbagai dagangan digelar seperti pakaian, sepatudan perlengkapan untuk Lebaran. Namun di balik itu pihak Kecamatan Barumun melakukan pengutipan sebesar Rp200 ribu hingga Rp1 juta per bulan setiap pedagang. Alasan pengutipan, untuk retribusi dan tempat berjualan.

Kepada wartawan koran ini, para pedagang menyampaikan keluh kesahnya. Kata mereka, sebelum berjualan mereka harus menyetor sejumlah uang mulai Rp200 ribu hingga Rp1 juta. Uang itulah kata para pedagang terlalu memberatkan. Pasalnya, keuntungan dari berjualan tidaklah seberapa.

Dua orang pedagang pakaian asal Medan, Jimmy dan Adek mengaku harus menyetor Rp1 juta kepada pihak Kecamatan Barumun. Uang sebesar itu sebagai sewa lokasi berjualan selama 1 bulan.

"Kita berjualan pakaian pakaian, sendal, dan mainan anak-anak. Harga yang kita tawarkan sangat murah jadi semua masyarakat bisa membeli dan bisa digunakan di hari Lebaran," kata Jimmy.

Sementara Adek mengatakan, sebelum berjualan mereka harus permisi kepada pihak kecamatan. "Kita diharuskan bayar uang kebersihan dan sewa lokasi sebesar Rp1 juta oleh pihak Kecamatan Barumun. Tentu hal sangat memberatkan, apalagi daya beli masyarakat masih kecil," tuturnya lesu karena pembeli memang masih terlihat sepi mengunjungi tempat berjualannya.

Pengakuan Adek juga dibewnarkan Kepala Pasar Sibuihuan, Firman Nasution. Kata Firman, setiap pedagang yang mengelar daganganya di lokasi Lapangan Merdeka wajib membayar uang sewa lokasi sebasar Rp1–2 Juta untuk 1 bulan. Kutipan dari: http://padanglawas.web.id

Keturunan Raja Padanglawas Menolak Eksekusi Lahan DL Sitorus

Eksekusi terhadap 47 ribu hektare lahan milik Darianus Lungguk Sitorus atas nama Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit (KPKS) Bukit Harapan, Koperasi Pasub PT Torganda dan PT Torus Ganda, dinilai diskriminatif.

Masyarakat dan keturunan Luhat (Kerajaan) di Kabupaten Padang Lawas dan Padang Lawas Utara, Sumatera Utara, menentang eksekusi tersebut dan akan melakukan perlawanan.

Mereka menilai lahan yang dulunya diklaim warga hanya berupa ilalang, sejak 1998 dengan bantuan modal D.L. Sitorus terpidana delapan tahun penjara dan denda Rp 5 miliar telah memberikan keuntungan kepada masyarakat tiap bulannya melalui pengelolaan lahan dengan sistem perkebunan inti rakyat (PIR).

Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara pada 26 Agutus lalu telah melakukan eksekusi 47 ribu perkebunan sawit milik D.L. Sitorus itu dan menyerahkannya kepada pemerintahan Sumatera Utara melalui Dinas Kehutanan.

Asisten Tindak Pidana Khusus, Agoes Djaja, mengatakan eksekusi dilakukan dengan penandatanganan berkas Berita Acara Penyerahan Barang Rampasan, tindak lanjut dari putusan (kasasi) Mahkamah Agung Nomor 2642. Selanjutnya, proses pengelolaan akan diserahkan kepada negara, yakni Departemen Kehutanan.

Keturunan Raja Luhat Unjung Batu, Muhammad Lubuk Hasibuan bergelar Tongku Lubuk Raya, menganggap eksekusi yang dilakukan diskriminatif. "Kami akan melakukan perlawanan. Lahan itu adalah lahan ulayat kami," kata Hasibuan kepada wartawan, Sabtu (5/9) malam kemarin.

Ia mengatakan kepemilikan lahan itu berdasarkan bukti berupa keputusan Pengadilan Negeri Sidempuan tahun 1992 yang menyatakan lahan 178.500 hektare di area itu termasuk 47 ribu hektare lahan yang dieksekusi sebagai lahan ulayat. Begitu juga 1.820 sertifikat yang dimiliki warga.

"Ini diskriminatif. Kenapa lahan milik ulayat di Sumatera tidak diakui, tapi di Jawa sana diakui (pemerintah)," tegasnya.

Tim Advokat masyarakat Padang Lawas, Sarluhut Napitupulu, menuding eksekusi yang telah dilakukan melanggar hak asasi manusia, sebab dalam satu objek perkara ada tiga putusan hukum, "pidana, perdata, dan tata usaha negara," ujarnya.

Untuk perkara perdata, keabsahan sertifikat 1.820 yang dimiliki masyarakat dinyatakan sah oleh pengadilan. "Pengadilan Tinggi Medan pada tingkat banding memutuskan sertifikat itu sah, dan jaksa mengajukan kasasi (belum putus)," kata Sarluhut.

Begitu juga dengan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dan PK Mahkamah Agung yang menyidangkan perkara surat Menteri Kehutanan yang mencabut hak (KPKS Bukit Harapan) mengelola lahan. "Di tingkat PT, putusan kasasi Mahkamah Agung, dan PK Mahkamah Agung membatalkan dan menolak PK Menteri Kehutanan atas surat pencabutan hak mengelola Nomor 5149 Tahun 2004," tegas Sarluhut.

Tapi, lanjut Sarluhut, keputusan itu tidak dieksekusi. "Ini pelanggaran HAM dan masyarakat akan melaporkan kepada Komnas HAM," ujarnya. (tmc/int) Kutipan dari: http://padanglawas.web.id

Operasi Pasar Murah di Sibuhuan, Hutalombang dan Latong : Harga Minyak Goreng Rp6 Ribu per Liter

Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan UKMK Kabupaten Padang Lawas, bekerjasama dengan PT Permata Hijau Group (PHG) Hutarajatinggi, selaku corporate social responsibilty (produsen,red) minyak goreng di tanah air, menggelar operasi pasar minyak goreng murah, untuk masyarakat selama tiga hari, mulai Selasa (8/9) sampai Kamis (10/9). Dalam operasi ini minyak goreng dijual dengan harga Rp6 ribu per liter.

Operasi pasar ini digelar di wilayah kerja operasional perusahaan yang mencakup 3 lokasi, yaitu, Pasar Sibuhuan Kecamatan Barumun, Hutalombang dan Pasar Latong Kecamatan Lubuk Barumun.

Budi Chandra selaku KDP Permata Hijau Group (PHG) wilayah Kabupaten Padang Lawas, kepada METRO di sela operasi pasar mengatakan, selaku CSR atau produsen yang memeroduksi minyak goreng (Migor), maka sesuai hasil rapat Kabinet Direktorat Jendral Perdagangan Dalam Negeri untuk melakukan stabilisasi harga minyak goreng di pasaran, berdasarkan surat Nomor : 10/PDN/1/2009, tanggal 16 Januari 2009, tentang hal penjualan langsung migor dari produsen ke konsumen, maka digelar penjualan langsung untuk masyarakat berpenghasilan rendah yang berada di wilayah Barumun, Lubuk Barumun, yang merupakan wilayah kerja opersional perusahaan .

Dikatakannya, digelarnya operasi pasar migor merupakan kewajiban sosial produsen untuk membantu masyarakat mendapatkan minyak goreng dengan harga yang terjangkau dari harga di pasaran. Di mana, harga minyak goring di pasaran bebas mencapai Rp8.500-9.000 per liter, sedangkan di lokasi opersi pasar dijual dengan harga Rp6.000 per liter.

"Kita berharap, animo masyarakat untuk membeli migor dengan digelarnya operasi pasar mendapat sambutan yang baik," harapnya.

Semenatara Kadis Perindagkop, H Muda Hamonangan Siregar didampingi Kabid Perdagangan, Drs Dingin Rambe, Kasi Pembinaan usaha dan pendaftaran usaha dagang , Sugriwo SPd, mengatakan, implementasi penjualan langsung migor tersebut, merupakan koordinasi anatar perusahan produsen dengan pemerintah setempat melalui jaringan penjualan langsung kepada konsumen serta memberikan fasilitasi dengan laporan aktivitas penyelengraaan penjualan selaku contact person .

Muda mengatakan, mengantisipasi kenaikan harga bahan pokok dan sembako menghadapi lebaran atau hari besar Nasional, maka sesuai surat edaran Gubsu, perlu dilaksanakan antisipasi di seluruh kabupaten/ kota melakukan operasi Pasar murah, untuk memenuhi pasokan dan kelancaran distribusi dan stabilisasi harga pangan dan pokok serta pengawasan mutu sebagai produk. Kutipan dari: http://padanglawas.web.id

Lebaran, Candi Bahal Ramai Dikunjungi

Libur Lebaran menjadi alasan warga yang mengunjungi tempat-tempat wisata, seperti Candi Bahal di Kabupaten Padang Lawas Utara, di Desa Bahal Kecamatan Portibi Kabupaten Padang Lawas Utara.

Pantauan METRO, sejak hari pertama Lebaran hingga hari ketiga pengunjung tidak pernah kurang dari seribu orang yang datang. Di tempat itu jumlah pengunjung meningkat hingga tiga kali lipat jika dibandingkan dengan hari biasa. Kepadatan pengunjung diperkirakan masih akan terus berlangsung hingga sepekan lebaran.

Salahseorang pengunjung Jay Harahap(45) asal Gunung Tua, mengaku, sengaja datang ke Candi Bahal untuk mengobati rasa penasaran istri dan anaknya untuk melihat langsung kemegahan candi bahal.

"Saya selama ini merantau ke Bandung dek dan dapat istri orang asli sana. Mumpung sekarang bisa pulang kampung, sekalian saja membawa mereka jalan-jalan ke sini. Soalnya mereka penasaran sekali ingin melihat langsung kemegahan Candi Bahal dan Buah Balakka yang tumbuh menghiasi Candi Bahal" ucapnya

Sementara di tempat terpisah, Indra Harahap(25) Mahasiswa pascasarjana Hukum Universitas Sumatera Utara (USU), menuturkan, Candi Bahal merupakan aset besar dan merupakan potensi besar yang dimiliki oleh Kabupaten Paluta guna menggerakkan sektor ekonomi dari sektor pariwisata.

Candi Bahal memiliki daya tarik tersendiri bagi para wisatawan lokal apalagi saat lebaran dan hari keagamaan lainnya. Namun, sampai saat ini, sepertinya belum maksimal upaya dari pemerintah untuk menggerakkan sektor ekonomi melalui keberadaan objek wisata tersebut,

"Candi Bahal ini boleh dikatakan satu-satunya objek wisata sejarah yang diandalkan di kabupaten Paluta.dan menjadi harapan wisatawan untuk tempat rekreasi, tapi sayang kondisi pengelolaannya sepenuhnya belum diperhatikan. Ditambah lagi kenyataan bahwa tidak ada promosi dan publikasi yang gencar terkait dengan obyek wisata ini, sehingga terkesan obyek wisata dibiarkan terlantar," tukasnya. (thg) Kutipan dari: http://padanglawas.web.id

"SILAHISABUNGAN: satu versi awal mula marga DAULAY (DAOLAE / DAHO LAE)"

Data yang dikumpulkan dari berbagai buku maupun turi-turian, bahwa Raja Silahisabungan mempunyai 2(dua) isteri.

Isteri pertama adalah Pinggan Matio boru Padang Batangari dan bermukim di Silalahi Nabolak dan isteri kedua adalah Milingiling boru Mangarerak.

Dari boru Pinggan Matio, Raja Silahisabungan memiliki tujuh (7) putra dan satu (1) putri. Sedangkan dari boru Milingiling, Silahisabungan memiliki seorang putra. Kedelapan putra Raja Silahisabungan dan seorang putri tersebut secara singkat dapat dijelaskan seperti dibawah ini.
Dari isteri pertama lahir sbb:

1. Haloho (Loho Raja)
2. Tungkir (Tungkir Raja)
3. Rumasondi (Sondi Raja)
4. Dabutar (Butar Raja)
5. Dabariba (Bariba Raja)
6. Debang (Debang Raja)
7. Pintubatu (Batu Raja)
8. Siboru Deang Namora.

Dari isteri kedua lahir satu putra yaitu:
1. Tambun(Tambun Raja)

1. Haloho (Loho Raja) menikah dengan boru tulangnya Rumbani boru Padang Batangari dan bermukim di Silalahi nabolak.Keturunannya sebagian pindah ke Paropo, Tolping, Pangururan, Parbaba. Haloho memiliki 3 putra yaitu : Sinaborno, Sinapuran, dan Sinapitu. Pada umumnya keturunannya memakai marga Sihaloho, dan hingga dewasa ini belum ada cabang marga ini.

2. Tungkir (Tungkir Raja) menikah dengan Pinggan Haomasan boru Situmorang dan bermukim juga di Silalahi nabolak. Pasangan ini juga memiliki 3 putra yaitu : Sibagasan, Sipakpahan dan Sipangkar. Keturunannya pada umumnya memakai marga Situngkir terutama Sibagasan dan Sipakpahan, sedangkan keturunan Sipangkar sebagian besar telah memakai Sipangkar sebagai marga.

3. Rumasondi (Sondi Raja) menikah dengan Nagok boru Purba Siboro. Pasangan ini juga bermukim di Silalahi nabolak. Keturunannya yaitu Rumasingap membuka perkampungan di Paropo.Rumasondi memiliki putra sbb : Rumasondi, Rumasingap, dan Rumabolon. Umumnya keturunannya memakai marga Rumasondi dan sebagaian memakai marga Silalahi (di balige) dan bahkan Rumasingap juga dipakai sebagai cabang marga. Demikian juga Doloksaribu, Nadapdap, Naiborhu, Sinurat, telah digunakan sebagai cabang marga dan masuk rumpun marga Rumasondi.

4. Dabutar (Butar Raja) menikah dengan Lagumora Sagala. Mereka juga tinggal di Silalahi Nabolak. Dabutar ini mempunyai tiga putra yaitu : Rumabolon, Ambuyak, dan Rumatungkup. Umumnya keturunannya memakai marga Sinabutar atau Sinamutar bahkan Sidabutar.

5. Dabariba Raja (Baba Raja) menikah dengan Sahat Uli boru Sagala. Mereka bermukim di Silalahi nabolak. Keturunannya memakai marga Sidabariba atau Sinabariba. Putranya berjumlah tiga yaitu : Sidabariba Lumbantonga, Sidabariba Lumbandolok, Sidabariba Toruan. Mereka ini pada umumnya memakai marga Sidabariba.

6. Debang (Debang Raja) menikah dengan Panamenan boru Sagala, juga bermukim di Silalahi nabolak. Keturunannya sebagaian menyebar ke Paropo. Debang Raja mempunyai 3 putra : Parsidung, Siari dan Sitao. Umumnya keturunannya memakai marga Sidebang atau Sinabang.

7. Pintu Batu (Batu Raja) menikah dengan Bunga Pandan boru Sinaga, juga tinggal di Silalahi nabolak. Memiliki 3 putra yaitu : Hutabalian, Lumbanpea, Sigiro. Keturunannya menggunakan marga Pintu Batu, tetapi keturunan Sigiro sebagian memakai marga Sigiro.

8. Tambun (Tambun Raja) adalah putra Raja Silahisabungan dari si boru Milingiling. Ketika masih remaja, Tambun meninggalkan Silalahi nabolak menemui ibu kandungnya di Sibisa Uluan. Tambun menikah dengan Pinta Haomasan boru Manurung dan bermukim di Sibisa. Dari Sibisa keturunannya berserak ke Huta Silombu, Huta Tambunan dan Sigotom Pangaribuan. Putra Raja Tambun berjumlah tiga orang yaitu : Tambun Mulia, Tambun Saribu, Tambun Marbun. Umumnya keturunannya memakai marga Tambun dan Tambunan, bahkan diantaranya memakai marga Baruara, Pagaraji, Ujung Sunge,Lumpan Pea.

Disamping marga-marga yang disebut di atas, Anak-anak Raja Silahisabungan dari isteri pertama memakai marga Silalahi. Sedangkan keturunan Tambun tetap menggunakan marga Tambun (oleh keturunan Tambun Uluan) atau Tambunan (oleh keturunan Tambun Koling).

PODA SAGU SAGU MARLANGAN

Poda sagu-sagu marlangan muncul karena munculnya pertengkaran antara Anak-anak Raja Silahisabungan dengan Si Raja Tambun yang mendapat perhatian lebih dari Ibunya Pinggan Matio dibandingakan anaknya yang lain, kemudian Raja Silahisabungan menyuruh Pinggan Mation menempa Sagu – sagu Marlangan berbentuk manusia yang ditaruh di kedalaman ampang ( Sejenis bakul). Kemudian SilahiSabungan memanggil seluruh putra putrinya dan Isterinya mengelilingi Sagu-sagu Marlangan dan kemudian menyampaikan pesan (WASIAT) yang isinya seperti dibawah ini :

HAMU ANAKKU NA UALU :
1. INGKON MASIHAHOLONGAN MA HAMU SAMA HAMU RO DI POMPARANMU, SISADA ANAK SISADA BORU NA SO TUPA MASIOLIAN, TARLUMOBI POMPARANMU NA PITU DOHOT POMPARAN NI SI RAJA TAMBUN ON.
2. INGKON HUMOLONG ROHAMU NA PITU DOHOT POMPARANMU TU BORU POMPARAN NI ANGGIMU SI RAJA TAMBUN ON, SUWANG SONGON I NANG HO RAJA TAMBUN DOHOT POMPARANMU INKON HUMOLONG ROHAM DI BORU POMPARAN NI HAHAM NA PITU ON.
3. TONGKA DOHONONMU NA UALU NA SO SAAMA SAINA HAMU TU PUDIAN NI ARI.
4. TONGKA PUNGKAON BADA MANANG SALISI TU ARI NA NAENG RO
5. MOLO ADONG PARBADAAN MANANG PARSALISIHAN DI HAMU, INGKON SIAN TONGA – TONGAMU MASI TAPI TOLA, SIBAHEN UMUM NA TINGKOS NA SOJADI MARDINKAN, JALA NA SO TUPA HALAK NA HASING PASAEHON.

Kemudian Raja Silahisabungan duduk dan menyuruh anak-naknya menjamah sagu – sagu marlangan itu tanda kesetiaan dan ikrar yang harus djunjung tingga. ke 8 anak Raja Silahisabungan menjamah Sagu – sagu marlangan itu dan berkata :” Sai dipargogoi Mulajadi Nabolon ma hami dohot pomparan nami mangulahon poda na nilehonmi amang,” kata mereka bergantian. Kemudian Raja Silahisabungan berkata, barang siapa yang melanggar wasiat ini seperti sagu – sagu marlangan inilah tidak berketurunan, ingkon mago jalan pupur.” Katanya.

BERITA KETURUNAN SIRAJA TAMBUN
Si Raja Tambun yang dinobatkan menjadi “Raja Boru “ di Sibisa dengan nama Raja Itano , tidak kembali lagi ke Silalahi Nabolak , Ia bersama Pintahaomasan br. Manurung tetap tinggal di Sibisa dan di berikan Tuhan 3 ( tiga ) orang anak laki – laki, yaitu : Tambun Mulia , Tambun Saribu dan Tambun Marbun . Tambun Mulia mempunyai 2 (dua ) anak laki – laki , yaitu : Tambun Uluan dan tambun Holing. Tambun Uluan tetap tinggal di Uluan, keturunannya memakai Marga Tambun. Tambun Holing pergi ke Tambunan sekarang dan mempunyai anak laki – laki 3 (tiga ) orang, Yaitu : Raja Ujungsunge, tuan Pagar Aji dan Datu Tambunan Toba. Seorang anak Tuan Pagar Aji, bernama Mata Sopiak pergi ke Angkola keturunannya memakai marga DAULAY (DAOLAE / DAHO LAE).

Datu Tambunan Toba mempunyai 3 (tiga) orang anak laki laki , yaitu Raja Baruara , Datu Gontam (Lumban Pea )dan Raja Parsingati (Lumban Gaol) Keturunan Tambun holing pada umumnya memakai marga Tambunan,dan banyak yang pergi ke Sigotom .

Menurut tradisi dan tarombo Siraja Tambun ,Tambun Saribu mempunyai 3 orang anak laki – laki, yaitu : Doloksaribu , Sinurat dan Nadapdap, tetapi Tambun Marbun belum jelas ketunannya. Menurut turasi dan tarombo Raja Silambungan , keturunan Siraja Bunga – bunga ( siraja Parmahan ) yang tinggal di hinalang Balige kembali membuat sagu – sagu marlangan di Onan Raja Tambunan untuk mengingat “ poda sagu – sagu marlangan “yang di buat Raja Silahisabungan di Silalahi Nabolak .

Dengan adanya turasi dan tarombo Siraja Tambun yang menyatakan Doloksaribu , Sinurat dan Nadapdap keturunan Tambun Saribu maka timbul permasalahan karena pada umumnya marga Doloksaribu, Sinurat dan Nadapdap mengaku keturunan Siraja Parmahan yang memakai marga Silalahi . Untuk memurnikan Poda sagu – sagu marlangan maka di anjurkan agar keturunan Siraja Parmahan memakai Silalahi

Asal muasal tercipta nya nama marga Daulay tau nggak ???

Horas.. Daulay.
Menurut cerita yang saya dengar nih.. Memang dulu ada Perantau dari Tanah Toba namanya Parmata Sapihak. Dia merantau ke Selatan. Dan membawa beberapa kerabat. Parmata Sapihak lah yang menjadi penunjuk arah ke arah yang dituju. Perjalanan yang jauh membuat semua kerabat bingung dan terus bertanya. Mereka selalu menanyakan letak lokasi yang di tuju, apa maseh jauh atau udah dekat : "Dau do Lae? itu terus yang mereka tanyakan kepada Parmata Sapihak. Parmata Sapihak hanya bisa membalas dengan berkata : "Dau Lae. Karena perjalanan nya yang panjang dan melelahkan maka terjadilah terus menerus percakapan seperti itu. Maka dari itu nama Dau Lae melekat pada nama Parmata Sapihak. Dianggap sebagai gelar, karena sudah menunjukkan jalan/lokasi untuk bermukim (kampung) untuk mereka. Seiring jaman, nama

Dau Lae berganti menjadi Daulay seperti yang sekarang ini. Ini lah yang saya dengar cerita tentang asal muasal pemberian nama marga Daulay. Mungkin cerita ini maseh meragukan oleh apara, uda, ito sekalian. Tapi ini lah sekilas cerita, buat sekedar Info bagi kita semua.

Hormat Saya.

Kiriman: Fadlan Mahmud Daulay

FORUM BAHASA MANDAILING & ANGKOLA – INDONESIA

Forum ini berawal dari aspirasi salah satu tokoh masyarakat mandailing yang berdomisili dijakarta atas kecintaanya dan jiwa kebatakannya khususnya Mandailing dan Angkola (Tapsel) sehingga forum ini terbentuk.

Forum bertujuan berbagi pikiran ide dan pandang pandangan mengenai Mandailing khususnya bahasa mandailing yang diperuntukkan bagi mereka yang keturunan Mandailing yang berada dijakarta, maupun daerah lain diindonesia dan juga dimancanegara.

Adat budaya yang selama ini terpendam mengajak semua kalangan untuk melestarikan budaya dan bahasa mandailing untuk mencari atau mencaritahu kekayaan bahasa mandailing yang selama ini mungkin saja kita kurang memahami..

Semoga apa yang menjadi pemikiran ini akan menjadi pemersatu dan memajukan masyarakat Mandailing dan keturunannya....

Horasss.... Horasss....
Jakarta, 14 Juni 2009

Damora Lubis
Pembina / Pendiri
Marwan Dalimunthe
Pengurus
Sjaiful A. Rangkuty
Pembina


Bahasamandailing@gmail.com
Jl. Raya Bintara No. 10 Jaksampurna, Bekasi Barat

oooooooooooooooo


Pustaha Mandailing (Surat Tulak - Tulak )
Oleh: Zainuddin P. Lubis



Kelompok etnis Mandailing mempunyai kitab tradisionial yang dinamakan pustaha. Surat Tulak Tulak (aksara tradisional Mandailing) dipergunakan untuk menulis pustaha.

Pustaha yang terbuat dari kulit kayu, atau lak-lak yang dilipat-lipat, dan ada juga yang terbuat dari satu ruas atau beberapa ruas bambu.
Pustaha yang terbuat dari kulit kayu yang dilipat-lipat biasanya berisi mantra-mantra dan cara¬cara penyembuhan tradisional, ada juga yang berisi ilmu perbintangan (semacam ilmu astrologi), ilmu meramal, dan ilmu-ilmu gaib. Sedangkan pustaha yang terbuat dari bambu satu ruas atau lebih, biasanya berisi tarombo atau silsilah keluarga.

Menurut Harry Parkin, dalam bukunya yang berjudul Batak Fruit of Hindu Thought (1978 hal, 102) tanggal yang tercatat sebagai tanggal pertama kali pustaha didapat seorang kolektor merupakan satu-satunya bukti mengenai usia pustaha. Alexander Hall menyerahkan satu pustaha kepada British Museum pada 18 Mei 1746. Itulah pustaha tertua yang pernah dikenal. Dalam buku yang sama Harry Parkin juga menjelaskan bahwa gaya bahasa yang digunakan dalam menulis pustaha dinamakan hata ni poda (ragam bahasa nasehat). Hal ini berarti semua pustaha (yang dimiliki berbagai kelompok etnis di Sumatera Utara, seperti, Angkola Toba, Simalungun, Karo, dan Fakfak) menggunakan gaya bahasa yang serupa.

Menurut Voarhoeve, gaya bahasa tersebut merupakan satu ragam bahasa kuno dari Selatan (Mandailing). Pustaha dari daerah lain, seperti Toba, Simalungun, Karo, dan Fakfak, tidak ditulis dengan bahasa yang murni kelompok- kelompok etnis tersebut, tapi ditulis dengan ragam hata poda yang dicampur dengan bahasa etnis yang bersangkutan.

Fakta yang demikian ini men¬dukung kesimpulan yang dicapai sebagai hasil perbandingan tu¬lisan-tulisan dari berbagai idiom bahwa bahasa yang dipergunakan menulis pustaha mendapatkan ak¬saranya dari Selatan (Mandailing). Ragam bahasa poda terkait dengan ilmu-ilmu gaib para datu yang menghadirkan berbagai problema linguistik. Masing-masing datu mempunyai jargon atau sistem singkatan bahasanya sendiri.

Masing-masing ilmu gaib mempunyai terminologinya sendiri yang tidak digunakan dalam bahasa sehari-hari, oleh karena itu tidak dipahami secara umum. Biasanya hanya datuyang bertanggungjawab atas penulisan pustaha, dan yang dapat memberikan suatu penjelasan yang penuh dan jelas tentang isi pustaha.

Suatu perbandingan mengenai aksara yang punya persamaan yang digunakan untuk menulis pustaha, bersama dengan fakta bahwa bahasa poda merupakan ragam bahasa kuno dari Selatan (Mandailing) memberikan petunjuk satu pola perkembangan dari Selatan ke arah Utara. Isi pustaha menunjukkan rasa tertarik yang jelas terhadap konsep megicoriligious (konsep sihir-re¬ligius).

Pustaha Mandailing

Kelompok etnis Mandailing mempunyai kitab tradisionial yang dinamakan pustaha. Surat Tulak Tulak (aksara tradisional Mandailing) dipergunakan untuk menulis pustaha.

Pustaha yang terbuat dari kulit kayu, atau lak-lak yang dilipat-lipat, dan ada juga yang terbuat dari satu ruas atau beberapa ruas bambu.
Pustaha yang terbuat dari kulit kayu yang dilipat-lipat biasanya berisi mantra-mantra dan cara¬cara penyembuhan tradisional, ada juga yang berisi ilmu perbintangan (semacam ilmu astrologi), ilmu meramal, dan ilmu-ilmu gaib. Sedangkan pustaha yang terbuat dari bambu satu ruas atau lebih, biasanya berisi tarombo atau silsilah keluarga.

Menurut Harry Parkin, dalam bukunya yang berjudul Batak Fruit of Hindu Thought (1978 hal, 102) tanggal yang tercatat sebagai tanggal pertama kali pustaha didapat seorang kolektor merupakan satu-satunya bukti mengenai usia pustaha. Alexander Hall menyerahkan satu pustaha kepada British Museum pada 18 Mei 1746. Itulah pustaha tertua yang pernah dikenal. Dalam buku yang sama Harry Parkin juga menjelaskan bahwa gaya bahasa yang digunakan dalam menulis pustaha dinamakan hata ni poda (ragam bahasa nasehat). Hal ini berarti semua pustaha (yang dimiliki berbagai kelompok etnis di Sumatera Utara, seperti, Angkola Toba, Simalungun, Karo, dan Fakfak) menggunakan gaya bahasa yang serupa.

Menurut Voarhoeve, gaya bahasa tersebut merupakan satu ragam bahasa kuno dari Selatan (Mandailing). Pustaha dari daerah lain, seperti Toba, Simalungun, Karo, dan Fakfak, tidak ditulis dengan bahasa yang murni kelompok- kelompok etnis tersebut, tapi ditulis dengan ragam hata poda yang dicampur dengan bahasa etnis yang bersangkutan.

Fakta yang demikian ini men¬dukung kesimpulan yang dicapai sebagai hasil perbandingan tu¬lisan-tulisan dari berbagai idiom bahwa bahasa yang dipergunakan menulis pustaha mendapatkan ak¬saranya dari Selatan (Mandailing). Ragam bahasa poda terkait dengan ilmu-ilmu gaib para datu yang menghadirkan berbagai problema linguistik. Masing-masing datu mempunyai jargon atau sistem singkatan bahasanya sendiri.

Masing-masing ilmu gaib mempunyai terminologinya sendiri yang tidak digunakan dalam bahasa sehari-hari, oleh karena itu tidak dipahami secara umum. Biasanya hanya datuyang bertanggungjawab atas penulisan pustaha, dan yang dapat memberikan suatu penjelasan yang penuh dan jelas tentang isi pustaha.

Suatu perbandingan mengenai aksara yang punya persamaan yang digunakan untuk menulis pustaha, bersama dengan fakta bahwa bahasa poda merupakan ragam bahasa kuno dari Selatan (Mandailing) memberikan petunjuk satu pola perkembangan dari Selatan ke arah Utara. Isi pustaha menunjukkan rasa tertarik yang jelas terhadap konsep megicoriligious (konsep sihir-re¬ligius).